Jika dilihat
dari sejarahnya Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang
berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan
sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tapi rupanya kita masih bertanya–tanya
sebenarnya rakyat mana yang dimaksud ?? memang dalam penjelasan diatas
demokrasi diartikan “oleh rakyat dan untuk rakyat” dalam pemerintahan memang di
selenggarakan oleh rakyat tapi ketika di singgung “untuk rakyat” kita akan
bertanya-tanya karena hingga saat ini masih banyak rakyat yang belum bisa
sejahtera, belum bisa tercukupi kebutuhanya bahkan hanya untuk makan pun mereka
belum bisa mencukupinya. Maka kita bertanya dimanakah arti demokrasi yang
sesungguhnya sesuai diartikan di atas bahwa oleh rakyat untuk rakyat. Saat ini
demokrasi hanya berputar pada kepentingan pribadi rakyat-rakyat dalam
pemerintahan dan rakyat-rakyat yang berhubungan dengan pemerintahan, ini
tercermin mana kala orang berebut untuk mencapai kekuasaan dan tinggat
tertinggi di negara ini; bahkan dalam prosesnya sangat tidak sesuai dengan yang
kita inginkan yaitu yang demokratis, penuh kedewasaan, jujur dan tertip tanpa
rekayasa sesuai yang diamatkan Undang-undang dasar 1945. sepertinya kita harus
lebih banyak belajar lagi dari negara-negara lain mengenai sikap demokratis,
jujur, dan yang paling penting sikap kedewasaan. Mungkin kita masih ingat saat
ajang pemilihan Presiden di Amerika Serikat disana untuk menjadi seorang
presiden harus melewati banyak tahap pertarungan. Bayangkan, saat penyelisihan
saja sudah tercermin nilai kedewasaan terlihat ketika Hillary Clinton kalah
dengan Obama dalam "babak penyisihan" di kubu Demokrat. Hillary bukan
hanya mengakui kekalahannya, tetapi (bersama suaminya Bill Clinton) mengajak
pendukungnya untuk bersatu mendukung Obama. Dalam pidato pengunduran dirinya
sesudah kalah, Hillary mengatakan : "Saya mendukung penuh Obama. Hari ini
saya mengucapkan selamat kepadanya atas kemenangannya dalam pertarungan luar
biasa yang dijalaninya. Saya minta semua pendukung saya bersatu mendukung
Obama." Bahkan manakala babak final didepan mata dan akhirnya Obama menang
atas pemilihan presiden di Amerika. Hanya butuh 30 menit saja bagi McCain setelah
dirinya kalah dari Obama, McCain menyampaikan pidato di depan para
pendukungnya: "Kalau sekarang ini kita kalah, itu bukan kegagalan Anda
semua, tetapi kegagalan saya! Malam ini sangat berbeda dengan malam-malam
sebelumnya, tidak ada dalam hati saya kecuali kecintaan saya kepada negeri ini
dan kepada seluruh warga negaranya, apakah mereka mendukung saya atau Senator
Obama. Saya mendoakan orang yang sebelumnya adalah lawan saya semoga berhasil
dan menjadi presiden saya."
Rakyat sedunia
bukan hanya kagum kepada Obama sang pemenang, tetapi juga kepada McCain yang
secara jujur mengakui kekalahan dan mengajak segenap rakyat AS mendukung
tugas-tugas Obama sebagai Presiden
AS. Sikap demokratis dan
kenegarawanannya tak bisa mengalahkan kekecewaannya karena tersisih untuk
menuju ke Gedung Putih. Ia merasa lebih sebagai rakyat AS daripada sebagai John
McCain.
Kejadian ini
mestinya dapat kita jadikan pelajaran yang berharga dan pendewasaan bagi para
politisi kita yang masih sibuk "menegakkan demokrasi" dengan jegal-menjegal,
menyebar intrik dan isu untuk menjatuhkan lawan. Kalau kalah pun tidak mau
menerima kekalahannya. Bahkan tidak jarang berujung di pengadilan dan semua
prosesnya penuh rekayasa. Bahkan hingga tingkat yang paling tinggi sekalipun
sikap lapang dada rupanya masih menjadi angan-angan atau mimpi bagi kita rakyat
Indonesia bahkan dikutip dari ucapan seorang tokoh mengatakan bahwa semua
presiden yang pernah memimpin negeri kita tak pernah bicara dengan presiden
penggantinya karena yang diganti tidak legawa (menerima dengan rela) melepas
kekuasaan pada penggantinya. Seolah-olah, yang pengganti adalah musuh seumur
hidup di mata yang digantikan. Ini sangat tidak mencerminkan sikap yang selalu
diserukan oleh para pemimpin tersebut. Bayangkan diamerika saja yang perbedaannya
cukup mencolok dapat disatukan dalam satu suara tanpa ada opsi sebagai pihak
yang kalah atau yang menang. Lalu bagai mana dengan kita? ; kita memiliki semboyan
luhur Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti juga merupakan negara pluralis, namun
dalam toleransi keberagamaan masih bermasalah. Jawa atau bukan Jawa, putra
daerah atau bukan, minoritas atau mayoritas, masih dipersoalkan. Bahkan juga
dalam urusan nasionalis-Islam atau sipil-militer serta urusan umur maupun
gender.
Padahal Semua
orang diciptakan setara. Bagi Indonesia ,
pembelajaran dan pendewasaan berdemokrasi dengan mengambil contoh dari pilpres
di AS ini jauh lebih penting maknanya daripada sekadar menyambut baik
kemenangan Obama sebagai kulit hitam pertama yang menjadi presiden ke-44 AS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar